Laki-laki Kok Belanja Sayur? (Bonus Ebook CEBM)

Posting Komentar
MasyaAllah Tabarakallah 🌿

(Sebuah Renungan dari Seikat Daun Bayam dan Sebungkus Doa Pagi)

Dulu, awal menikah tahun 2008, saya dan istri sepakat untuk menjalani hidup rumah tangga dengan satu prinsip sederhana: siapa yang bisa, ya dia yang mengerjakan. Tidak perlu debat siapa yang seharusnya, tapi siapa yang ikhlas melakukannya.

Waktu itu, bayi kami masih kecil, masih menyusu, dan istri saya nyaris tak bisa jauh dari rumah. Maka secara alami, saya yang akhirnya kebagian “job” belanja sayur setiap pagi.

Rutinitas itu ternyata menghadirkan pemandangan langka di kampung kami. Karena di Jawa, apalagi di lingkungan tradisional, laki-laki belanja sayur dianggap aneh. Tapi bagi saya, itu bukan soal peran, itu soal cinta yang diwujudkan dalam bentuk paling sederhana: membantu pasangan di masa-masa beratnya menjadi ibu baru.

Pagi di Pasar dan Tatapan yang Aneh-Aneh

Pagi itu, seperti biasa, saya memanggul tas kecil kain hitam dan melangkah ke pasar sayur depan gang. Udara dingin, aroma tanah basah, dan suara ibu-ibu menawar harga menyambut saya.

Belum sampai memilih bayam, sudah ada bisik-bisik kecil di belakang saya:

“Lho, itu Mas Ale ya? Tiap hari belanja. Hebat ya, suaminya Bunda Vivi itu.”

Saya tersenyum. Kadang saya hanya membalas dengan kalimat ringan,

“Iya Bu, saya lagi piket pagi.”

Pernah suatu kali, ada ibu-ibu nyeletuk keras,

“Mas iki apa tak jadikan menantu wae yo?”

Semua tertawa. Bahkan si Ibu Mlijo — istilah untuk penjual sayur di Malang — ikut menimpali sambil tersenyum:

“Lho, Bu, Mas ini sudah punya istri loh, malah istrinya lagi di rumah nyusuin anak.”

Tawa pun pecah. Suasana jadi cair, ringan, dan hangat seperti aroma tempe goreng pagi hari.

Dua Belas Tahun Berlalu, dan Cerita Itu Terulang

Hari ini, 11 November 2025, kejadian itu terulang lagi. Bedanya, anak kami sudah besar-besar, tapi saya tetap suka turun tangan belanja.

Ketika saya sedang menimbang tomat, saya merasakan satu pandangan tajam dari arah kanan. Seorang ibu-ibu paruh baya menatap lama, lalu akhirnya berucap:

“Enak ya kalau laki-laki mau belanja.”

Saya menunduk sejenak, dalam hati istighfar pelan. MasyaAllah, semoga tidak jadi ain (pandangan iri yang membawa dampak buruk). Saya menjawab dengan nada bercanda,

“Lho Bu, itu Pak Mlijo juga belanja loh, malah tiap hari.”

Tapi si ibu tidak menggubris candaan saya. Dengan nada lebih serius, ia berkata lirih,

“Coba suamiku mau belanja, Mas…”

Saya menjawab ringan,

“Jangan begitu, Bu. Istri saya lagi kasih ASI, jadi biar saya bantu belanja supaya cepat masak untuk sarapan anak-anak.”

Si ibu tersenyum getir, lalu berkata sesuatu yang membuat dada saya sesak,

“Saya, Mas… mau nyusuin anak pun, suami saya nggak mau belanja. Pulang sebulan sekali aja sudah syukur, itupun belum tentu bawa uang.”

Mak jleb.

Saya menatap wajahnya sekilas, tampak lelah tapi tetap tegar. Saya buru-buru bayar belanjaan dan pamit, tapi hati saya bergetar hebat.

Trenyuh dan Bersyukur

Di perjalanan pulang, langkah saya terasa berat. Di satu sisi saya bersyukur punya kesempatan belajar jadi suami yang mau membantu. Tapi di sisi lain, saya trenyuh memikirkan betapa banyak perempuan di luar sana yang berjuang sendirian — lahir batin — karena suaminya abai dengan hal-hal kecil seperti ini.

Padahal, justru dalam hal-hal kecil itulah cinta diuji. Bukan pada hadiah mahal atau kata-kata romantis, tapi pada tangan yang mau bergerak membantu.

Belanja: Bukan Soal Gender, Tapi Soal Cinta

Kadang masyarakat kita terlalu mudah menilai peran berdasarkan jenis kelamin.
Laki-laki dianggap gagah kalau kerja di luar rumah,
sementara perempuan dianggap “seharusnya” di dapur.

Padahal rumah tangga itu seperti kapal:
dua awak, dua kemudi, dua hati yang bekerja sama agar kapal tetap berlayar.

Maka ketika seorang suami belanja sayur, bukan berarti dia kurang jantan, tapi justru menunjukkan ketegasan hatinya dalam membantu, bukan gengsinya dalam menolak.

Rasulullah pun Pernah Belanja

Lalu saya teringat satu kisah dalam hadits sahih tentang Rasulullah ï·º.
Beliau, manusia paling mulia, bukan hanya membantu istrinya, tapi juga berbelanja sendiri ke pasar.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

"Rasulullah ï·º adalah orang yang paling lembut terhadap keluarganya. Beliau biasa memperbaiki sandalnya sendiri, menjahit bajunya sendiri, dan bekerja di rumah sebagaimana salah satu dari kalian bekerja di rumah."
— (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 541)

Dan dalam riwayat lain disebutkan:

"Nabi ï·º biasa pergi ke pasar untuk keperluan keluarganya, membeli kebutuhan rumah tangganya, dan tidak pernah merasa malu."
— (Hadits ini daif, belum ketemu referensinya)

MasyaAllah…
Kalau Rasulullah saja — seorang pemimpin umat, manusia paling mulia — mau turun ke pasar dan membantu istrinya, lalu siapa kita sampai merasa gengsi?

Pelajaran dari Pasar Sayur

Hari itu saya belajar satu hal penting:
Bahwa “belanja” bukan sekadar transaksi membeli kebutuhan, tapi latihan menjadi manusia yang rendah hati dan penuh empati.

Ketika kita masuk ke pasar, kita sedang memasuki dunia perjuangan ibu-ibu luar biasa yang bertahan hidup dari dagangan kecilnya. Kita belajar menawar bukan untuk menekan harga, tapi untuk melatih lidah agar lembut berbicara dan hati agar tidak serakah.

Kita juga belajar bahwa membantu pasangan bukan tentang besar kecilnya peran, tapi tentang kehadiran.

Dari Belanja Menjadi Amal

Kadang orang bertanya,
“Mas, nggak malu belanja di pasar? Kan ramai ibu-ibu.”

Saya tersenyum dan menjawab,
“Kalau yang saya lakukan bisa membuat istri saya tersenyum lega, itu sudah ibadah.”

Rasulullah ï·º bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
— (HR. Tirmidzi, no. 3895)

Artinya, ukuran kebaikan seorang laki-laki bukan diukur dari seberapa keras ia bekerja di luar rumah, tapi seberapa lembut ia memperlakukan keluarganya di dalam rumah.

Refleksi untuk Para Suami

Saudaraku sesama laki-laki,
kadang kita terlalu sibuk mengejar nafkah, hingga lupa bahwa nafkah batin keluarga bukan hanya uang, tapi juga waktu dan perhatian.

Ketika kita membantu mencuci piring, menyapu, atau sekadar belanja, bukan berarti kita lebih rendah. Justru di situlah letak keimanan kita diuji.

Karena Rasulullah ï·º tidak pernah mengajarkan gengsi dalam kebaikan.
Yang beliau ajarkan adalah kasih sayang dan kerendahan hati.

Penutup: Belanja dan Bahagia

Pagi ini, saat saya menaruh kantong sayur di dapur, istri saya tersenyum.
Wangi sayur, aroma teh panas, dan suara anak-anak yang mulai bangun mengisi rumah kecil kami.

Saya menatap wajah istri saya yang sedang menyiapkan sarapan sambil menyusui, dan hati saya berbisik,

“Inilah makna rumah tangga — saling menolong dalam cinta dan lillah.”

Belanja bukan hanya urusan dapur.
Ia adalah amal kecil yang beraroma surga.

Karena di setiap langkah menuju pasar, di setiap kantong sayur yang kita bawa, terselip doa seorang istri, dan ridha Allah yang menatap lembut dari langit.

Catatan Hikmah

“Barang siapa yang lembut terhadap keluarganya, maka Allah akan lembut terhadapnya di hari kiamat.”
— (HR. Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, no. 8383)

Selamat Hari Ayah Nasional

Hari ini 12 November selalu diperingati sebagai Hari Ayah Nasional Indonesia. Maka saya ingin mengucapkan dan berdoa untuk semua ayah yang masih berjuang untuk mensejahterakan keluarga nya. Dan buat para Ayah yang sudah Almarhum, namun semangat dan pesannya masih melekat dalam dada, semoga Allah menerima segala amal baik beliau semuanya.

Dan untuk para Ayah atau siapapun yang sedang berjuang untuk hidup lebih sehat dengan cara Berhenti Merokok.
Saya ada kado berupa Mini Ebook: Cara Ekstrim Berhenti Merokok
"Cara Pasti dan Praktis Berhenti Merokok, Dijamin 100% Berhasil!"


🔥 Ingin berhenti merokok tapi selalu gagal?
📘 Ebook ini akan mengubah hidupmu.

Di dalam Mini Ebook ini, kamu akan belajar Cara Ekstrim dan Terbukti Berhasil dari Alix Wijaya sejak 2008 (17 tahun), seorang perokok addict yang berhasil 100% berhenti merokok... TANPA kambuh lagi! Kok Bisa??


💡 Bukan teori kosong. Ini adalah cara yang benar-benar dipraktekkan dan berhasil. Jika kamu mau menirunya, mustahil Gagal. Garansi Uang Kembali!

Kenapa Kamu Harus Punya Ebook Ini?
✅ Metode ini ekstrim tapi aman dan bisa langsung dipraktekkan
✅ Tanpa bantuan obat, hipnoterapi, atau konseling
✅ Cocok untuk semua usia, bahkan yang sudah merokok puluhan tahun
✅ Ditulis dari pengalaman pribadi, bukan sekadar teori motivasi.



💸 Harga Gratis! Cukup Traktir Gorengan minimal Rp. 1.000,- saja. Klik gambar diatas 👆 atau Klik disini. 👈

Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar